Wednesday, June 22, 2016

Celebrating 25 Years of Karisma Kapoor's Career in Indian Cinema

My picks for the Top 10 Karisma Kapoor's movies



In chronological order:

1. Prem Qaidi (1991)
2. Raja Babu (1994)
3. Andaz Apna Apna (1994)
4. Jeet (1996)
5. Raja Hindustani (1996)
6. Dil To Pagal Hai (1997)
7. Hum Saath Saath Hain (1999)
8. Fiza (2000)
9. Zubeidaa (2001)
10. Shakti: The Power (2002)

The Crown of Dionysus: Mr World 2016 Pre-Arrivals List

This year's biggest male beauty pageant final will take place on July 19 in Southport, UK. Here are my top fave contestants before they entering the real competition in the following month.


1. Brazil (Lucas Montandon)
2. Philippines (Sam Ajdani)
3. Latvia (Kristaps Vilde)
4. England (Christopher Bramell)
5. Germany (Oleg Justus)
6. Mexico (Aldo Esparza)
7. Kenya (Kevin Owiti)
8. South Africa (Armand Du Plessis)
9. Venezuela (Renato Barabino)
10. Poland (Rafal Jonkisz)

Thursday, February 25, 2016

Film Review: Stay with Me (2016)


Dua kisah tentang drama rumah tangga pasangan muda yang sama-sama dilanda kebimbangan dan kegelisahan. Boy (Boy William), seorang pembuat film, suami dari Key (Natasha Ratulangi) dalam masa keterpurukannya akibat usahanya sedang jatuh. Istrinya berubah, dalam sebuah percakapan ia mengungkapkan alasannya, “Aku udah nggak ada lagi perasaan sama kamu.”

Di lain tempat ada Deyna (Ully Triani), wanita karier yang merasa tidak mendapat dukungan moral dari suaminya, Firman (Firman Subagja). Meski kini sudah berkeluarga dan sama-sama mempunyai seorang anak, Boy dan Deyna mencoba memperbaiki hubungan mereka yang pernah terhenti akibat sang perempuan harus pindah ke luar negeri. Ya, mereka dulu adalah sepasang kekasih dan masih menyimpan cinta. Apakah sekarang mereka bisa bersatu?

Jika dalam beberapa karya sebelumnya Rudi Soedjarwo lebih banyak menampilkan tokoh laki-laki yang kuat – contohnya adalah Mengejar Matahari (2004), 9 Naga (2006), Liar (2008)— kali ini ia seperti ingin menyampaikan pesan bahwa laki-laki tidak selamanya sekuat dari apa yang ditampilkan di luar. Lewat Stay with Me, kita melihat sisi melankolis sang sutradara. Siapa nyana, ia memiliki kisah cinta yang tidak begitu indah. Cerita film ini, seperti diakuinya, banyak terinspirasi dari kisah hidupnya.

Rudi yang juga menulis naskahnya dan muncul sekelebatan, menggarap dengan matang dan detail seluruh aspek teknis dalam film ini. Tentunya saya harus acungi jempol juga untuk desain produksinya. Film ini berhasil melarutkan penonton dalam cerita yang disuguhkan lewat gambar-gambar khas Rudi yang memang selalu ‘bercerita’ dan artistik. Inilah pencapaian sinematik Rudi yang lebih dewasa.

Lewat Tentang Dia (2005), ia telah menemukan Sigi Wimala. Kali ini ia menjadikan Ully Triani sebagai aktris harapan masa depan. Perempuan ini berhasil memberikan beberapa scene yang impresif. Sayangnya, tidak demikian dengan bintang utama laki-laki. Padahal peran Boy adalah sentral, dan memang harus diakui sangat berat. Saya belum bisa membayangkan aktor lain berada di sana. Tapi yang jelas, seandainya ada aktor lain yang bisa lebih ekspresif, film ini akan lebih berdampak seperti Ada Apa dengan Cinta? (2002).

Rating: 3.5/5

Friday, February 19, 2016

Kezia Roslin Didaulat Menjadi Puteri Indonesia 2016


Ajang kontes kecantikan Puteri Indonesia 2016 dimenangkan oleh perwakilan Sulawesi Utara, Kezia Roslin. Wanita 24 tahun ini mengalahkan 38 finalis lainnya di malam puncak Puteri Indonesia 2016 di Plennary Hall Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Jumat (19/2) tengah malam.

Setelah melalui beberapa tahap, mulai dari sepuluh besar, lima besar, dan tiga besar, jawaban yang diberikan Kezia atas berbagai pertanyaan dari media sosial atau juri sukses membawa mahkota Puteri Indonesia 2016 berada di kepalanya.

"Saya sangat senang sekali. Ini kebanggaan tersendiri bagi saya karena berhasil dari 34 perwakilan provinsi yang ikut," kata Kezia saat jumpa media usai penobatannya sebagai penerus Puteri Indonesia 2015, Anindya Kusuma Putri.

Wanita yang bernama lengkap Kezia Roslin Cikita Warouw itu mengalami persaingan cukup ketat untuk sampai menjadi Puteri Indonesia. Sempat menjawab dengan gugup saat ronde sepuluh besar, Kezia menuai tepuk tangan penonton Plennary Hall ketika masuk babak lima besar. Selain Kezia, tepuk tangan penonton bergemuruh untuk jawaban dari Intan Aletrino asal Sumatera Barat, serta Felicia dari Lampung.

Pada babak tiga besar, Kezia, Intan, dan Felicia harus menjawab pertanyaan penentuan. 

Berbalutkan kebaya hijau dengan ekor ungu panjang karya Anne Avantie, mereka diharuskan memberi pendapat tentang perkataan Bunda Teresa, "some people come in your life as blessing and some people come in your life as lesson". Dan Kezia menjawab pertama kali dan langsung mendapat tepuk tangan meriah.

"Hidup merupakan universitas kehidupan yang tidak bisa dilihat. Tapi dari sana dapat belajar melihat dalam berbagai posisi. Ketika dikecewakan, maka orang akan belajar untuk tidak menghakimi. Dan itu adalah pelajaran untuk membuat orang menjadi lebih baik," kata Kezia mantap di atas panggung. 

"Belajarlah dari kehidupan karena itu adalah universitas yang nyata untuk dihadapi esok," lanjutnya.

Dewan juri yang terdiri dari berbagai pihak seperti Kusumadewi Susanto, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Annas, Menteri Pariwisata Arief Yahya, dan Puteri Indonesia 2014 Elvira Devinamira, memutuskan untuk memberikan mahkota Puteri Indonesia kepada Kenza, kemudian Runner-Up 1 kepada Felicia dari Lampung, serta Runner-Up 2 kepada Intan Aletrino dari Sumatera Barat.

Penyerahan mahkota dengan desain baru mirip stupa Candi Borobudur kepada Kezia itu dilakukan oleh Puteri Indonesia 2015, Anindya Kusuma Putri dan disaksikan Miss International 2015 Edymar Martinez Blanco asal Venezuela. Setelahnya, Kezia melakukan langkah pertamanya sebagai Puteri Indonesia 2016.

"Nikmati setiap momen yang ada. Gugup dan salah ketika di panggung adalah hal yang wajar dan bisa terjadi, tapi yang terpenting adalah tetap menjalaninya dan menikmatinya." kata Blanco ketika diminta memberikan masukan kepada tiga besar finalis Puteri Indonesia 2016.

Sebagai pemenang Puteri Indonesia 2016, Kezia diwajibkan atas berbagai tugas Puteri Indonesia selama setahun ke depan. Selain itu, Kezia yang akan mewakili Indonesia di ajang Miss Universe 2016. Miss Universe 2015 yang baru terpilih, Pia Wurtzbach asal Filipina sendiri berhalangan datang pada malam puncak Puteri Indonesia 2016.

"Semua tugas yang akan diembankan kepada saya, saya siap untuk menjalani semuanya. Inilah proses yang harus saya jalani." kata Kezia sembari tersenyum sembari memegang piala dan tumpukan karangan bunga dari berbagai pihak.

Kezia merupakan lulusan Sarjana Teknik Informatika Universitas Esa Unggul. Dara kelahiran kelahiran 18 April 1991 ini sudah bercita-cita mengikuti Puteri Indonesia sejak kecil, bahkan ia sempat berhenti dari pekerjaannya untuk fokus mengikuti Puteri Indonesia. 

Anak pertama dari empat bersaudara ini memiliki tinggi 183 centimeter dan hobi membaca, travelling, dan menonton. 

Wanita yang berdomisili di Manado ini merupakan keturunan asli Sulawesi Utara dan pernah memenangkan beberapa kontes kecantikan dan model daerah, di antaranya Duta Sulawesi Utara di Polandia pada 2016, Favorite World Education Expo Indonesia Ambassador 2014, Juara 3 Gading Model Search 2015, Wakil 2 Noni Sulawesi Utara 2015, dan Puteri Indonesia Sulawesi Utara 2016. 

Indonesia sendiri memiliki rentetan prestasi di bidang kontes kecantikan dunia. Puteri Indonesia 2014, Elvira Devinamira, berhasil menjadi 15 besar di Miss Universe 2014 dan memenangkan Best National Costume. Pada 2015, Anindya Kusuma Putri pun sukses mempertahankan posisi Indonesia di 15 besar Miss Universe 2014. 

Sedangkan pada ajang Miss Supranational 2015 di Polandia, Puteri Pariwisata 2015 atau Runner-Up 2 Puteri Indonesia 2015 Gresya Amanda Maaliwug berhasil membawa gelar Best National Costume dengan tema Mystical Toraja karya Dynand Fariz. 

Rencananya, sebagai Runner-Up 1 atau Puteri Indonesia Lingkungan, Felicia akan bertanding pada Miss International 2016. Sedangkan Intan Aletrino akan mewakili Indonesia di ajang Miss Supranational 2016 mendatang.

Text and image c/o CNN Indonesia

Tuesday, February 16, 2016

The Crown of Dionysus: Puteri Indonesia 2016 Final List

Here are my final picks for the 2016 Puteri Indonesia pageant.

Please note that this is not a prediction list. It's purely my personal choice.

Goodluck to all the contestants in the final!


The Crown of Dionysus: Puteri Indonesia 2016 Special Awards

Here are my picks of special awards receivers at the 2016 Puteri Indonesia pageant. Congratulations!

I will post my final list tomorrow.


Friday, February 12, 2016

The Crown of Dionysus: Puteri Indonesia 2016 Post-Arrivals List


1. Jawa Barat
2. Jawa Timur
3. Sumatera Selatan
4. Sulawesi Utara
5. DKI Jakarta 6

6. Sumatera Utara
7. Sumatera Barat
8. Bali
9. Lampung
10. DKI Jakarta 4

Tuesday, February 2, 2016

The Crown of Dionysus: Indonesia's Film Awards 2016 Winners

Most Outstanding Film:
Guru Bangsa: Tjokroaminoto

Most Outstanding Actor:
Donny Alamsyah (Bulan di Atas Kuburan)

Most Outstanding Actress:
Acha Septriasa (Nada untuk Asa)

Most Outstanding Supporting Actor:
Tio Pakusadewo (Bulan di Atas Kuburan)

Most Outstanding Supporting Actress:
Putri Ayudya (Guru Bangsa: Tjokroaminoto)

Most Outstanding Director:
Garin Nugroho (Guru Bangsa: Tjokroaminoto)

Most Outstanding Screenplay:
Bulan Terbelah di Langit Amerika

Most Outstanding Cinematography:
Guru Bangsa: Tjokroaminoto

Most Outstanding Editing:
Guru Bangsa: Tjokroaminoto

Most Outstanding Music:
Bulan di Atas Kuburan

Most Outstanding Sound:
Bulan Terbelah di Langit Amerika

Most Outstanding Art Direction:
Guru Bangsa: Tjokroaminoto


Congratulations to all the winners and please continue the good work!

Saturday, January 30, 2016

The Crown of Dionysus: Puteri Indonesia 2016 Pre-Arrivals List


1. Jawa Barat 
2. Sumatera Utara
3. Bali
4. Jawa Timur
5. Lampung

6. DKI Jakarta 5
7. DKI Jakarta 4
8. Sumatera Barat
9. DKI Jakarta 2
10. Banten

Thursday, January 28, 2016

Film Review: Siti (2014)


Sudah sejak lama saya menunggu ada film lokal yang bisa dibanggakan dan dikirimkan lagi ke kancah internasional, utamanya festival. Terakhir seingat saya, Pasir Berbisik (2001) dan Rumah Dara (2010) lah yang memenuhi ‘standar’ saya. Tiba kini saatnya perasaan yang sama muncul lagi. Hasrat nasionalisme itu datang lagi!

Sebenarnya saya tidak banyak tahu tentang proses pembuatan film ini hingga tiba-tiba ia menang kategori nomor satu dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun lalu. Berjudul tidak biasa untuk era modern sekarang ini, Siti (2014), apa istimewanya film ini hingga juri-juri FFI jatuh hati, begitu batin saya. Jujur saja, saya penasaran. Lebih-lebih ketika disebutkan media bahwa ini adalah film independen. Benarkah? Ada berapa banyak film independen yang sudah diapresiasi  oleh FFI untuk penghargaan utama memangnya?

Tetapi tidak serta-merta saya berpikiran positif terhadapnya. Pengalaman terakhir nama Ifa Isfansyah tidak terlalu meninggalkan jejak rekam baik buat saya. Saya adalah satu dari sedikit orang yang kecewa dengan filmnya yang berjudul Pendekar Tongkat Emas (2014). Sebagai penggemar film laga kolosal Indonesia sedari kecil, dahaga saya tidak terpuaskan ketika menontonnya. (Film itu) jauh... sangat jauh dari harapan. Saya tidak hendak membahasnya di sini kenapa. Yang jelas film-film lawas semacam Saur Sepuh (1987) dan Tutur Tinular (1989) masih sangat lebih baik.

Siapa pula Eddie Cahyono yang duduk di kursi sutradara? Saya baru mendengar namanya. Maafkan saya jika sempat meragukan kemampuan beberapa orang yang kurang familiar di telinga saya. Termasuk Bung Eddie ini. Sebab, nama-nama sineas masa kini yang digembar-gemborkan oleh media sebagai yang terbaik saja kadang-kadang menurut saya, karyanya masih ‘ya... begitulah’. Jadi jangan salahkan saya.

Tapi semua pertanyaan yang menggelayut terjawab kemarin. Menonton Siti sama rasanya seperti menonton film-film Indonesia yang ‘rasa’-nya masih kuat khas Indonesia, tidak dibuntal dengan banyak pengaruh budaya Barat. Di masa kanak-kanak saya, saya menonton film-film karya Sjumandjaja yang dulu rutin ditayangkan ulang di layar televisi sehingga itu sangat membekas. Dialog sehari-hari yang mengalir lancar, pengadeganan yang runut dan tidak semrawut meski di sana ada banyak tokoh. Itu saya dapatkan dari Siti

Kemudian saya teringat beberapa saat lalu saya pernah berpikir, kenapa sineas Indonesia jarang sekali memproduksi film bertema perempuan, atau katakanlah women’s cinema, akhir-akhir ini. Mungkin Nan T. Achnas dan Nia Dinata pengecualian. Tetapi mereka sudah cukup lama vakum. Ruma Maida (2009) tidak istimewa, jeblok pula di pasaran. Mungkin fokus kebanyakan dari mereka saat ini kejar setoran, begitu pikir saya. Alangkah beraninya seorang Ifa Isfansyah kalau begitu. Ia memproduseri film ini.

Maka perihal itu kemarin saya tanyakan kepadanya saat bertemu dalam sesi meet and greet film terkait. Ia menjawab, “Tujuan membuat film yang pertama, bisa untuk bisnis. Kedua, bisa karena kita ingin memberi 'sesuatu'. Pilihan kita yang kedua.” Lalu kenapa ia memilih untuk menjadikan nama tokohnya sebagai judul film? ‘Siti’ terdengar tidak komersil, jujur saja. “Saya selalu suka dengan nama tokoh yang dibuat judul film. Dari sejak 10 tahun lalu saya punya cita-cita untuk membuat judul film dengan nama Siti. Alasan personalnya, Siti adalah nama ibu saya. Sempat ada perdebatan dengan Eddie (Cahyono) tentang judul film, tetapi itu tidak lama. Awalnya naskah film ini berjudul 'Dewi'. Tapi saya pikir nama Siti lebih genuine, lebih membumi,” jawabnya.

Oh, baiklah. Kalau boleh jujur lagi, meski tidak komersil, tapi saya menyukai nama Siti. Karena seperti nama ibu sang produser film, Siti juga adalah nama ibu saya. Kebetulan bukan? Dan keinginan saya membuat film dengan nama ibu saya semakin menggebu-gebu saja! Entah kapan itu bisa terwujud. Terimakasih kepada Bung Ifa atas penjelasannya, saya jadi semakin bangga mempunyai ibu (yang sudah almarhumah) bernama Siti. Saya jadi teringat akan judul-judul film Indonesia di tahun 1930-an dan 1940-an seperti Fatima (1938), Siti Akbari (1939), dan Roekihati (1940) yang konon bisa diterima dengan baik oleh pasar meski menjadikan perempuan sebagai protagonis, dan dengan bangganya mempersembahkan nama tokoh utama sebagai judul. Saya bertambah cinta!

Kembali ke filmnya, Siti bercerita mengenai sosok Siti (diperankan amat baik oleh pendatang baru Sekar Sari, saya terperanjat bukan main kenapa ia tidak masuk nominasi  Pemeran Utama Wanita Terbaik FFI 2015) yang menjalani kehidupan serbasulit setelah suaminya, Bagus (Ibnu Widodo) mengalami kecelakaan di laut. Pekerjaan awal suaminya adalah nelayan. Sekarang ia lumpuh dan hanya tergolek kaku di ranjang reot tanpa ekspresi, tanpa suara. Siti harus merawat Bagus sekaligus mengumpulkan uang untuk melunasi hutang yang ditinggalkan pasangan hidupnya.

Di rumah sangat sederhana itu, Siti tinggal bersama ibu mertuanya, Darmi (Titi Dibyo) dan anaknya, Bagas (Bintang Timur Widodo). Berlokasi di sekitar Parangtritis, Yogyakarta, Siti menjalani kehidupannya yang tidak mudah. Siang ia berjualan Peyek Jingking di pantai, malamnya menemani tamu sebagai pemandu karaoke. Dari pekerjaan malamnya ini lah ia kemudian bertemu dengan seorang polisi bernama Gatot (Haydar Saliz) yang menawarkan kehidupan lebih baik, asalkan Siti mau dinikahinya.

Konflik batin Siti ini yang ditonjolkan dalam film berwarna hitam putih dengan durasi sekitar 90 menit. Eddie Cahyono juga menulis skenarionya. Tidak terasa membosankan dan seperti saya bilang di awal, adegan per adegan terasa runut. Penonton lain yang juga menonton bersama, sekilas saya amati ekspresi mereka antusias dan tidak terkantuk-kantuk. Bisa jadi karena film ini berbahasa Jawa Tengah dengan dialek Jogja dan tokohnya orang Jogja juga? Mungkin, untuk Anda yang bukan berasal dari Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, sekadar dugaan jelek saya, akan mati kebosanan melihat film ini. Semoga saja tidak.

Tapi meskipun bosan,  tunggu dulu, jangan buru-buru meninggalkan auditorium jika film ini belum berakhir. Karena Anda tentunya masih penasaran, apakah Siti akan memilih hidup enak atau bertahan menemani suami dan anaknya di gubuk mertuanya. Lagipula, para juri FFI dan festival film internasional saja sudah ‘jatuh hati’ kepada Siti, sama seperti saya. Kenapa Anda tidak? Upgrade-lah penilaian Anda tentang sinema Indonesia sekali-kali.

Untuk saya pribadi, Siti adalah salahsatu film Indonesia terbaik sepanjang masa. Classic!

Rating: 4/5

Friday, January 1, 2016

The Crown of Dionysus: Indonesia's Film Awards 2016 Nominees

My picks of the most outstanding Indonesian theatrically released feature-length motion pictures.

Eligibility: All films released between January 1, 2015 and December 31, 2015.

Winners will be announced in February.


Most Outstanding Film:

Bulan di Atas Kuburan
Bulan Terbelah di Langit Amerika
Guru Bangsa: Tjokroaminoto
Mencari Hilal
Nada untuk Asa


Most Outstanding Actor:

Abimana Aryasatya (Bulan Terbelah di Langit Amerika)
Deddy Sutomo (Mencari Hilal)
Donny Alamsyah (Bulan di Atas Kuburan)
Reza Rahadian (Guru Bangsa: Tjokroaminoto)
Reza Rahadian (Kapan Kawin?)


Most Outstanding Actress:

Acha Septriasa (Bulan Terbelah di Langit Amerika)
Acha Septriasa (Nada untuk Asa)
Adinia Wirasti (Kapan Kawin?)
Atiqah Hasiholan (Bulan di Atas Kuburan)
Marsha Timothy (Nada untuk Asa)


Most Outstanding Supporting Actor:

Didi Petet (Guru Bangsa: Tjokroaminoto)
Fauzi Baadilla (Di Balik 98)
Nino Fernandez (Bulan Terbelah di Langit Amerika)
Mathias Muchus (Nada untuk Asa)
Tio Pakusadewo (Bulan di Atas Kuburan)


Most Outstanding Supporting Actress:

Christine Hakim (Guru Bangsa: Tjokroaminoto)
Natasha Rizki (Hijab)
Prisia Nasution (3: Alif Lam Mim)
Putri Ayudya (Guru Bangsa: Tjokroaminoto)
Raline Shah (Surga yang Tak Dirindukan)


Most Outstanding Director:

Benni Setiawan (Toba Dreams)
Charles Gozali (Nada untuk Asa)
Edo W.F. Sitanggang (Bulan di Atas Kuburan)
Garin Nugroho (Guru Bangsa: Tjokroaminoto)
Rizal Mantovani (Bulan Terbelah di Langit Amerika)


Most Outstanding Screenplay:

Bulan di Atas Kuburan
Bulan Terbelah di Langit Amerika
Guru Bangsa: Tjokroaminoto
Mencari Hilal
Nada untuk Asa


Most Outstanding Cinematography:

Bulan di Atas Kuburan
Bulan Terbelah di Langit Amerika
Di Balik 98
Filosofi Kopi
Guru Bangsa: Tjokroaminoto


Most Outstanding Editing:

Bulan di Atas Kuburan
Bulan Terbelah di Langit Amerika
Filosofi Kopi
Guru Bangsa: Tjokroaminoto
Mencari Hilal


Most Outstanding Music:

Bulan di Atas Kuburan
Filosofi Kopi
Guru Bangsa: Tjokroaminoto
Mencari Hilal
Nada untuk Asa


Most Outstanding Sound:

Bulan Terbelah di Langit Amerika
Di Balik 98
Filosofi Kopi
Guru Bangsa: Tjokroaminoto
Toba Dreams


Most Outstanding Art Direction:

3: Alif Lam Mim
Bulan di Atas Kuburan
Guru Bangsa: Tjokroaminoto
Mencari Hilal
Toba Dreams