Thursday, January 28, 2016

Film Review: Siti (2014)


Sudah sejak lama saya menunggu ada film lokal yang bisa dibanggakan dan dikirimkan lagi ke kancah internasional, utamanya festival. Terakhir seingat saya, Pasir Berbisik (2001) dan Rumah Dara (2010) lah yang memenuhi ‘standar’ saya. Tiba kini saatnya perasaan yang sama muncul lagi. Hasrat nasionalisme itu datang lagi!

Sebenarnya saya tidak banyak tahu tentang proses pembuatan film ini hingga tiba-tiba ia menang kategori nomor satu dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun lalu. Berjudul tidak biasa untuk era modern sekarang ini, Siti (2014), apa istimewanya film ini hingga juri-juri FFI jatuh hati, begitu batin saya. Jujur saja, saya penasaran. Lebih-lebih ketika disebutkan media bahwa ini adalah film independen. Benarkah? Ada berapa banyak film independen yang sudah diapresiasi  oleh FFI untuk penghargaan utama memangnya?

Tetapi tidak serta-merta saya berpikiran positif terhadapnya. Pengalaman terakhir nama Ifa Isfansyah tidak terlalu meninggalkan jejak rekam baik buat saya. Saya adalah satu dari sedikit orang yang kecewa dengan filmnya yang berjudul Pendekar Tongkat Emas (2014). Sebagai penggemar film laga kolosal Indonesia sedari kecil, dahaga saya tidak terpuaskan ketika menontonnya. (Film itu) jauh... sangat jauh dari harapan. Saya tidak hendak membahasnya di sini kenapa. Yang jelas film-film lawas semacam Saur Sepuh (1987) dan Tutur Tinular (1989) masih sangat lebih baik.

Siapa pula Eddie Cahyono yang duduk di kursi sutradara? Saya baru mendengar namanya. Maafkan saya jika sempat meragukan kemampuan beberapa orang yang kurang familiar di telinga saya. Termasuk Bung Eddie ini. Sebab, nama-nama sineas masa kini yang digembar-gemborkan oleh media sebagai yang terbaik saja kadang-kadang menurut saya, karyanya masih ‘ya... begitulah’. Jadi jangan salahkan saya.

Tapi semua pertanyaan yang menggelayut terjawab kemarin. Menonton Siti sama rasanya seperti menonton film-film Indonesia yang ‘rasa’-nya masih kuat khas Indonesia, tidak dibuntal dengan banyak pengaruh budaya Barat. Di masa kanak-kanak saya, saya menonton film-film karya Sjumandjaja yang dulu rutin ditayangkan ulang di layar televisi sehingga itu sangat membekas. Dialog sehari-hari yang mengalir lancar, pengadeganan yang runut dan tidak semrawut meski di sana ada banyak tokoh. Itu saya dapatkan dari Siti

Kemudian saya teringat beberapa saat lalu saya pernah berpikir, kenapa sineas Indonesia jarang sekali memproduksi film bertema perempuan, atau katakanlah women’s cinema, akhir-akhir ini. Mungkin Nan T. Achnas dan Nia Dinata pengecualian. Tetapi mereka sudah cukup lama vakum. Ruma Maida (2009) tidak istimewa, jeblok pula di pasaran. Mungkin fokus kebanyakan dari mereka saat ini kejar setoran, begitu pikir saya. Alangkah beraninya seorang Ifa Isfansyah kalau begitu. Ia memproduseri film ini.

Maka perihal itu kemarin saya tanyakan kepadanya saat bertemu dalam sesi meet and greet film terkait. Ia menjawab, “Tujuan membuat film yang pertama, bisa untuk bisnis. Kedua, bisa karena kita ingin memberi 'sesuatu'. Pilihan kita yang kedua.” Lalu kenapa ia memilih untuk menjadikan nama tokohnya sebagai judul film? ‘Siti’ terdengar tidak komersil, jujur saja. “Saya selalu suka dengan nama tokoh yang dibuat judul film. Dari sejak 10 tahun lalu saya punya cita-cita untuk membuat judul film dengan nama Siti. Alasan personalnya, Siti adalah nama ibu saya. Sempat ada perdebatan dengan Eddie (Cahyono) tentang judul film, tetapi itu tidak lama. Awalnya naskah film ini berjudul 'Dewi'. Tapi saya pikir nama Siti lebih genuine, lebih membumi,” jawabnya.

Oh, baiklah. Kalau boleh jujur lagi, meski tidak komersil, tapi saya menyukai nama Siti. Karena seperti nama ibu sang produser film, Siti juga adalah nama ibu saya. Kebetulan bukan? Dan keinginan saya membuat film dengan nama ibu saya semakin menggebu-gebu saja! Entah kapan itu bisa terwujud. Terimakasih kepada Bung Ifa atas penjelasannya, saya jadi semakin bangga mempunyai ibu (yang sudah almarhumah) bernama Siti. Saya jadi teringat akan judul-judul film Indonesia di tahun 1930-an dan 1940-an seperti Fatima (1938), Siti Akbari (1939), dan Roekihati (1940) yang konon bisa diterima dengan baik oleh pasar meski menjadikan perempuan sebagai protagonis, dan dengan bangganya mempersembahkan nama tokoh utama sebagai judul. Saya bertambah cinta!

Kembali ke filmnya, Siti bercerita mengenai sosok Siti (diperankan amat baik oleh pendatang baru Sekar Sari, saya terperanjat bukan main kenapa ia tidak masuk nominasi  Pemeran Utama Wanita Terbaik FFI 2015) yang menjalani kehidupan serbasulit setelah suaminya, Bagus (Ibnu Widodo) mengalami kecelakaan di laut. Pekerjaan awal suaminya adalah nelayan. Sekarang ia lumpuh dan hanya tergolek kaku di ranjang reot tanpa ekspresi, tanpa suara. Siti harus merawat Bagus sekaligus mengumpulkan uang untuk melunasi hutang yang ditinggalkan pasangan hidupnya.

Di rumah sangat sederhana itu, Siti tinggal bersama ibu mertuanya, Darmi (Titi Dibyo) dan anaknya, Bagas (Bintang Timur Widodo). Berlokasi di sekitar Parangtritis, Yogyakarta, Siti menjalani kehidupannya yang tidak mudah. Siang ia berjualan Peyek Jingking di pantai, malamnya menemani tamu sebagai pemandu karaoke. Dari pekerjaan malamnya ini lah ia kemudian bertemu dengan seorang polisi bernama Gatot (Haydar Saliz) yang menawarkan kehidupan lebih baik, asalkan Siti mau dinikahinya.

Konflik batin Siti ini yang ditonjolkan dalam film berwarna hitam putih dengan durasi sekitar 90 menit. Eddie Cahyono juga menulis skenarionya. Tidak terasa membosankan dan seperti saya bilang di awal, adegan per adegan terasa runut. Penonton lain yang juga menonton bersama, sekilas saya amati ekspresi mereka antusias dan tidak terkantuk-kantuk. Bisa jadi karena film ini berbahasa Jawa Tengah dengan dialek Jogja dan tokohnya orang Jogja juga? Mungkin, untuk Anda yang bukan berasal dari Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, sekadar dugaan jelek saya, akan mati kebosanan melihat film ini. Semoga saja tidak.

Tapi meskipun bosan,  tunggu dulu, jangan buru-buru meninggalkan auditorium jika film ini belum berakhir. Karena Anda tentunya masih penasaran, apakah Siti akan memilih hidup enak atau bertahan menemani suami dan anaknya di gubuk mertuanya. Lagipula, para juri FFI dan festival film internasional saja sudah ‘jatuh hati’ kepada Siti, sama seperti saya. Kenapa Anda tidak? Upgrade-lah penilaian Anda tentang sinema Indonesia sekali-kali.

Untuk saya pribadi, Siti adalah salahsatu film Indonesia terbaik sepanjang masa. Classic!

Rating: 4/5

0 comments:

Post a Comment